ISLAM, BUDAYA GOTONG ROYONG DAN KEARIFAN LOKAL
Abstract
Pluralitas merupakan realitas yang empiris dan faktual. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia melalui Al-Qur’an surat Al-Hujurot ayat 13 menegaskan dan mengakui akan adanya realitas plural itu. Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi. Jumlah penduduk lebih dari 237.000.000 jiwa (BPS, 2010) yang mendiami di 17.508 pulau baik besar dan kecil. Ada 1.128 suku dengan lebih dari 700 bahasa Daerah, dan memiliki 5 agama (Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha) serta 1 keyakinan (Aliran/Keyakinan Kepada Tuhan yang Maha Esa) yang diakui resmi oleh Pemerintah (Tim MPR-RI, 2012). Dibalik keragaman tersebut meniscayakan adanya berbagai budaya dan bentuk kearifan lokal yang berbeda, khas, dan unik pada tiap-tiap daerah. Namun keberagaman Suku Bangsa dan bahasa tersebut dapat disatukan dalam satu bangsa, bangsa Indonesia, dan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari Kitab Sutasoma warisan Mpu Tantular di abad XIV pun disepakati oleh founding father’s sebagai perekat bangsa. Tulisan ini bermaksud mengeksplorasi dan mengelaborasi tema besar Islam, budaya gotong royong dan kearifan lokal di Indonesia melalui pendekatan kepustakaan (library research) serta pengamatan lapangan pada masyarakat. Fokus masalah yang ditetapkan adalah : 1. Bagaimanakah budaya gotong royong dalam perspektif Islam. 2. Bagaimanakah kearifan lokal dalam perspektif Islam. 3. Bagaimanakah contoh nyata budaya gotong royong dan kearifan lokal pada masyarakat.
Islam hadir bukan di ruang hampa. Ia hadir dalam realitas bahkan merespon budaya yang ada saat itu. Islam bukanlah anti budaya, justru Allah menurukan Islam dan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya menggunakan pendekatan budaya (Sodiqin, 2008). Bahkan dalam kaidah Ushul Fiqh, budaya, kearifan lokal dan adat kebiasaan suatu masyarakat bisa menjadi sumber hukum Islam yang dikenal dengan Urf (Madjid, 2008). Jadi, dengan prinsip tahapan adopsi, adaptasi, dan integrasi, Islam dan Al-Qur’an bukan saja mengakui, bahkan mampu berdialektika dengan budaya maupun kearifan lokal yang ada.
Kata Kunci : Islam, Budaya, dan Kearifan Lokal.
Islam hadir bukan di ruang hampa. Ia hadir dalam realitas bahkan merespon budaya yang ada saat itu. Islam bukanlah anti budaya, justru Allah menurukan Islam dan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya menggunakan pendekatan budaya (Sodiqin, 2008). Bahkan dalam kaidah Ushul Fiqh, budaya, kearifan lokal dan adat kebiasaan suatu masyarakat bisa menjadi sumber hukum Islam yang dikenal dengan Urf (Madjid, 2008). Jadi, dengan prinsip tahapan adopsi, adaptasi, dan integrasi, Islam dan Al-Qur’an bukan saja mengakui, bahkan mampu berdialektika dengan budaya maupun kearifan lokal yang ada.
Kata Kunci : Islam, Budaya, dan Kearifan Lokal.
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)References
Al-Mubarakfury, Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyah, Sygma Publishing, 2010. Bandung.
Marcoes, Lies. “Kembali Ke Jati Diri”, Mizan, 2013. Jakarta.
Mulkhan, Munir. Demokrasi Dibawah Bayangan Mimpi NII, Kompas, 2011. Jakarta.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 2008. Jakarta.
Shihab, Quraish. Al-Misbah Jilid 2, Lentera Hati, 2011. Ciputat.
Sodikin, Ali. Antropologi Al-Qur’an Model Dialektika Wahyu Dan Budaya, Ar-Ruz Media, 2008. Jogjakarta.
Tim AIK PP Muhammadiyah, Al-Islam Dan Kemuhammadiyahan, Majelis DIKTILITBANG PP Muhammadiyah, 2016. Yogyakarta.
Tim MPR-RI. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2012. Jakarta.
Zuhdi, Achmad. Terapi Qur’ani, Imtiyaz, 2015. Surabaya.